Cerita Cinta Tembok Cinta Nan Megah

Telingaku menangkap hiruk-pikuk yang kemudian memaksa ku untuk membuka mataku lebih lebar lagi. Jiwaku belum terkumpul sepenuhnya. Ragaku belum juga bertenaga. Namun ku paksakan untuk berdiri. Aku berada di sebuah tempat yang cukup luas. Entah di mana. Aku tak tahu, aku tak ingat. 

Beberapa langkah di depanku, ada sebuah tembok nan megah berdiri dengan gagahnya. Tembok itu begitu besar, tinggi dan panjang. Mungkin lebih besar dari tembok Berlin di Jerman. Mungkin juga lebih tinggi dari tembok Ratapan di Israel. Mungkin juga lebih panjang dari tembok Cina. Uniknya tembok itu hanya dihiasi oleh dua warna saja, biru dan putih. Warna yang begitu ku sukai. Warna yang begitu melambangkan diriku. 

Tembok Cinta Nan Megah

Banyak sekali orang yang berdiri di depan tembok itu. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada tua, ada muda. Wajah orang-orang itu belum pernah ku lihat sebelumnya. Sebagian dari mereka tengah asyik menulis sesuatu di tembok itu. Ada pula yang tengah menempel foto-foto mereka di tembok itu. Ada juga yang hanya bersandar di sana. Ada yang tengah menangis, tertawa, murka dan ada pula yang terlihat linglung. 

Di tembok itu orang-orang bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Ada yang mengotorinya dengan tulisan yang tak jelas. Ada yang menuliskan cerita, ada pula yang berdoa di sana. Seolah-olah ia tengah menyembah tembok megah itu. Jika diperhatikan, tembok itu kini tak hanya berwarna biru dan putih. Tapi lebih berwarna akibat bekas yang ditinggalkan orang-orang di tembok itu.

Kelihatannya menyenangkan, pikirku.

Ku langkahkan kakiku mendekat ke tembok nan megah itu. Semoga saja masih ada sisi tembok yang kosong. Aku ingin menuliskan sesuatu di sana. Meskipun belum terpikir dalam benakku aku ingin menulis apa. Sesampainya di depan tembok itu, aku urungkan niatku untuk menulis. Aku masih bingung mau menulis apa. Rasanya begitu takut untuk menulis sesuatu di tembok itu. Namun hati kecilku terus merengek. Akhirnya aku hanya bersandar saja dan mengamati sekeliling.

Cukup lama aku bersandar hingga seseorang menyolek bahuku. Spontan mataku ingin tahu siapakah itu. Ia seorang pria. Rambutnya hitam dengan gaya spike ala anak muda masa kini. Matanya kecil diperindah dengan bulu matanya yang lentik, hidungnya pun sama. Kumis tipisnya menghiasi bibirnya yang kecil. Kulitnya putih bersih, wajahnya manis tanpa jerawat maupun komedo. Ia sedikit lebih tinggi dari ku. Sepertinya ia pun lebih tua dari ku.

Aku tak berkomentar apa-apa. Hanya menatapnya penuh tanya. Lalu ia tersenyum. Senyumnya sungguh manis. Matanya makin mengecil saat ia melebarkan bibirnya. Sepertinya ia berasal dari etnis Tionghoa. Oh Tuhan, aku bisa terserang diabetes karenanya. Sayang sekali jika senyuman semanis itu tak ku balas.

Setelah puas saling membalas senyuman, ia mulai berucap.

“Boleh aku mengenal mu?” tanyanya. Suaranya berat, namun terkesan indah.
“Kenapa tidak? Namaku Langit” sahutku.
“Nama yang bagus.. Aku Bumi.” balasnya. Lagi-lagi ia tersenyum. Bagus! Selepas ini aku harus pergi ke dokter untuk memeriksa gula darahku.

Dimulai dari perkenalan sederhana, percakapan kami terus berlanjut makin jauh. Tak terasa sudah begitu lama aku di sini. Tempat ini begitu menyenangkan. Waktuku terbuang tanpa terasa. Bukan hanya hari itu, tapi esok dan seterusnya pun aku mengunjungi tembok nan megah itu.

Hari-hari semakin banyak pengunjung tembok itu. Dan hubunganku dengan Bumi pun semakin akrab. Hingga akhirnya pertemanan kami berakhir. Bukan berakhir sebenarnya, namun lebih tepat merangkak ke anak tangga yang lebih tinggi. Akan ku kenang terus saat manis bersamanya itu. Saat di mana ia mengucap kata-kata indah itu. Kata-kata yang sungguh jarang aku mendengarnya.

Saat itu, seperti biasa, aku hanya duduk bersandar pada tembok itu. Sementara Bumi di sisiku. Ku sandarkan kepalaku di bahunya yang datar sambil ku genggam tangannya. Tak ku pedulikan hiruk-pikuk orang yang lalu lalang. Di antara mereka, ada mata yang memandang kami dengan tajam. Ada pula gadis-gadis cantik yang menutup kepalanya dengan kain-kain yang anggun. Mereka menatap kami dengan pandangan tak mengenakan sambil sesekali tertawa kecil. Jelas mereka bukan tertawa bersama kami, tapi mereka menertawakan kami. Mungkin terlintas dalam benak mereka, apa yang dilakukan dua orang aneh di sini?

Serupa pula dengan apa yang ada dalam benakku. Apa yang ku lakukan di sini? Mengapa aku merasa begitu nyaman berada di sini? Mengapa aku merasa begitu bahagia duduk bersandar bersama Bumi? Lamunan ku terpecahkan oleh desah suara Bumi.

“Langit… Aku sadari ini salah. Namun, jika mencintai mu adalah hal yang salah, aku enggan menjadi benar” desahnya dengan sangat lembut.
“Begitu juga dengan diriku. Takkan ku pedulikan mana yang salah mana yang benar. Jika bersamamu sudah cukup. Aku tak inginkan apapun lagi.” jawabku.
Ku beranikan menatap matanya dalam-dalam meski sejujurnya aku tak sanggup. Dia pun melakukan hal yang serupa. Mata kami saling memandang. Wajah kami sama-sama memerah. Menahan malu serta bahagia.

Dan…

“Aku mencintai mu, Langit”

Terucap!

Kalimat sederhana bak mutiara itu akhirnya terucap. Setelah cukup lama aku menunggu. Akhirnya terucap jua. Mulai hari itu semuanya terasa berbeda. Tembok itu terlihat lebih indah, lebih megah dari biasanya. Hidupku terasa lebih berwarna. Kegundahan hilang lenyap. Kesedihan pergi menjauh.

Belum terpikirkan olehku kapan ini akan berakhir, kapan tembok nan megah ini akan runtuh, kapan pula aku harus berpisah dengannya. Aku hanya ingin bahagia meski hanya sebentar saja. Jika hanya dengan tembok ini aku mendapat kebahagiaan, maka akan ku kunjungi terus-menerus tembok ini. Bahkan hingga saat ini, hingga detik ini pun aku masih mengunjungi tembok itu. Tembok indah dengan berbagai keajaibannya. Tembok indah dengan miliaran pengunjung setiap harinya. Tembok indah yang mampu membenarkan yang salah. Tembok indah yang mampu mendatangkan cinta.

Tembok indah yang mampu menyatukan Langit dan Bumi.
Tembok indah yang hingga saat ini masih berwarna putih dan biru…
Tembok indah yang bernama…
.
.
.
.
Facebook

Cerpen Karangan: Fajar Rahmad Hidayat
Blog: jarvajar.blogspot.com
Facebook: Fajar Apa Lo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar